
Husain masuk ke kamar asramanya dengan gontai, wajahnya nampak lelah. Setelah meletakkan tas cangklongnya di atas almari, ia langsung tiduran di lantai. "Hmmmmhhh," terdengar desah kelegaannya. Tak berapa lama kemudian ia mengangkat kepala, memandang dengan penuh selidik ke seantero ruangan untuk menemukan sesuatu. Dan ketemu. Di pojok kamar tepatnya di bawah jendela, sebuah botol curigen berisi air mengundang seleranya. Tanpa babibu lagi, Husain menyambar botol tersebut dan meneguk isinya. "Alhamdulillaaah," ucapnya penuh rasa syukur. Husain kembali menelentangkan tubuhnya di lantai untuk tiduran. Dan ia benar-benar ketiduran, tanpa ganti baju terlebih dulu. Saat itu jam menunjukkan pukul 16.oo.
Goncangan itu membangunkannya. Lamat-lamat ia mendengar orang bersuara,"Kang Husain, bangun. Bangun Kang...! Hampir maghrib. Sudah jam lima seperempat". Sontak Husain terperanjat, langsung di lihatnya jam dinding di samping ruangan. Jam lima seperempat? Matanya yang masih agak kabur karena kantuk mengamati jarum penunjuk jam tersebut. "Eh Shodiq, mana jam lima seperempat? Itu lho masih jam empat seperempat," tanpa memperhatikan keadaan di luar, Husain protes kepada Shodiq, kawan asramanya. Shodiq 3 tahun lebih muda dari Husain, jadi tak mengapa Husain langsung memanggil namanya tanpa embel-embel "kang". "Jamnya mati Kang. Coba dilihat yang bener, jarum detiknya nggak bergerak kan? Saya barusan lihat jam di kamar sebelah" jawab Shodiq. Husain mendekat ke jam dinding untuk lebih memastikan. Benar juga, ternyata jamnya mati. Sebenarnya Shodiq masih ingin melanjutkan tidurnya, maklum badannya terasa sangat lelah. "Uwaaaaah," Husain menguap sambil meregangkan tubuhnya. Bunyi bergemeletuk pun terdengar dari sendi-sendi tulang.
Hingga usai sholat maghrib, rasa penat itu masih mendera tubuh Husain. Dengan kerepotan, karena kantuk dan lelah, ia berusaha mengulang hafalan pelajaran madrasahnya. Saking mengantuknya, saat muroja'ah tak jarang kepala Husain harus terantuk-antuk dengan bangku kayu yang ia gunakan belajar. Sebenarnya, Husain hari ini juga merasa malas untuk masuk madrasah. Tapi, tak ingin istiqomahnya terpincang hanya karena penat, Husain memutuskan untuk tetap masuk madrasah meski nanti di sana ia harus terpaksa tidur sekalipun. Bukankah orang yang berjuang dalam majlis ilmu sayap-sayap malaikat akan senantiasa memayunginya? Dalam kantuknya Husain tersenyum.
Teman-teman sekamar Husain, berjumlah 12 orang, hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keadaannya. "Sudah, nggak usah masuk saja Kang. Nanti saya tak bilang ke teman sekelas antum biar dimintakan izin ke ustadznya," ujar Ulil menyarankan. Husain hanya menggelengkan kepala tanda menolak. "Istiqomah itu mahal harganya. Kyai Kholil almarhum (ulama kenamaan dari Madura) saja, beliau selalu menangis jika madrasahnya libur karena merasa istiqomahnya kurang. Lha, kita yang dekat madrasah masa cuma begini saja nggak masuk," jawab Husain, mirip orang menggigau. Kalau sudah berkata begitu teman-teman Husain sudah menyerah, mereka kenal betul sikap Husain yang begitu disiplin.
Dengan kepala menunduk, mata agak terpejam, dan kitab di dekapan, pelan-pelan Husain menyusuri jalan menuju madrasah. Hiruk pikuk suara santri yang sedang berangkat masih terdengar, artinya ia tak perlu buru-buru. Sesampai di pintu kelas, teman-teman Husain langsung menyambutnya. "Kang Husain, maju ya. Menerangkan pelajaran yang kemarin. Pak Fathullah izin terlambat dan beliau meminta agar diisi muroj'ah pelajaran yang lalu," ujar salah seorang di antara mereka. "Ah, saya sedang nggak enak badan Kang. Jika saya yang maju, keterangannya nanti malah nglantur. Lha itu Kang Syihab, ro'is 'amm syawirnya ada. Masa yang maju wakil ro'is nya melulu," tutur Husain menolak. Dan kelas pun berjalan. Di barisan depan Husain berjuang mengikuti pelajaran semampunya. Bahkan, ia sempat disapa Pak Fathullah saat beliau telah hadir mengajar. "Kang Husain sakit ya, kok wajahnya pucat. Kalau sakit nggak apa-apa sampean pulang," kata beliau. Tapi sambil tersenyum, Husain menjawab,"Oh tidak, Pak".
Setelah sholat isya' masih ada jadwal pengajian kitab tapi kantuk Husain sudah tak tertahankan lagi. Ketika hendak mengambil kitab, iseng-iseng Husain merebahkan badan di balik almari. Dan ia pun tertidur. Di tengah tidurnya itulah, antara sadar dan tidak Husain melihat bayangan berkelebat tanpa suara dari bawah celah almarinya, seperti ada orang yang masuk ke dalam kamar. Husain mengira pasti itu pengurus yang sedang berpatroli, kalau ya ia bisa tenang dan meneruskan tidurnya. Karena tadi ia sempat bilang ke pengurus kalau sedang nggak enak badan dan diizinkan untuk tidak ikut pengajian.
Namun, tak dinyana Husain merasa sarung yang ia pakai ditarik-tarik seseorang dan seakan terdengar suara,"ayo ikut ngaji Kang, ikut ngaji Kang". Husain pun terjingkat dan melihat sekeliling, tak ada siapa-siapa. Bulu kuduk Husain seketika merinding, secepat kilat ia langsung angkat kaki menyambar kitabnya lari menuju pengajian. Beberapa pengurus pondok nampak heran dibuatnya. "Katanya mau istirahat Kang," sapa Kang Furqon, pengurus bagian administrasi yang kebetulan sekelas dengan Husain. Husain yang masih ketakutan tak menjawab, ia langsung duduk dan membuka kitabnya.
Husain baru merasakan nikmatnya tidur ketika seluruh pengajian berakhir. Tapi itu pun tidak berlangsung hingga waktu fajar. Tengah malam Husain bermimpi, Kyai di mana ia dulu belajar dan tahsin Al Quran memandang dirinya dengan pandangan yang amat marah. Seakan-akan Husain berbuat kesalahan yang tak termaafkan.
Bangun dari tidurnya di tengah malam, Husain menangis tersedu-sedu. Ia sadar bahwa ia bermimpi demikian karena seharian ia memang sama sekali belum tilawah Al Quran, memang sebuah kelalaian yang tak termaafkan untuk ukuran seorang santri. Dengan terburu kemudian Husain mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat tahajud dengan terisak-isak. "Ya Allah karena rahmat-Mu aku selalu dalam lindungan-Mu, karena rahmat-Mu pula Engkau menyelamatkanku dari kelalaianku," hatinya dengan sedih berbisik.
Apa yang telah dialami Husain hari itu lebih dari cukup sebagai alasan untuk merasa sangat bersyukur kepada-Nya. Karena dalam kelalaian dirinya, Allah ternyata masih memberikan penjagaan dengan mengingatkannya. "Ya Allah, semoga Engkau senantiasa memberikan penjagaan atas berkuasanya nafsu dan kelemahan yang ada dalam diriku". Di sela-sela tilawahnya, air mata Husain makin deras mengalir.
*Diangkat dari kisah nyata, nama tokoh disamarkan
By Labib Fayumi
